Maulid dan Transformasi Profetik: Agenda Indonesia Beradab

 

SumberMu.com - Apa jadinya bila kelahiran seorang manusia sungguh mengejutkan tatanan sosial, mengubah bangsa dari jahiliyah (era tanpa etika masyarakat dan rapuhnya kemanusiaan) menuju beradab? Dalam perspektif Karl Jaspers, kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal—yang tahun ini bertepatan dengan 5 September 2025—dapat dibaca sebagai bagian dari gelombang Axial Age: momen-momen sejarah di mana nilai kemanusiaan ditata ulang secara radikal. Secara akademis, transformasi ini terbukti melalui perubahan struktur nilai, institusi, dan praktik sosial dalam kurun dua dekade kenabian: dari hegemoni kesukuan, praktik ekonomi eksploitatif, serta lemahnya standar etik publik, menuju keteraturan hukum, keadilan distributif, dan kohesi sosial yang berlandaskan akhlak.

Narasi ini berangkat dari deskripsi kondisi pra-Islam. Jazirah Arab pra-kenabian merepresentasikan masyarakat dengan fragmentasi tinggi: suku patronase mengatur distribusi kekuasaan, balas dendam menjadi mekanisme “keadilan”, status perempuan termarginalkan, serta berkemah dan riba menstrukturkan ekonomi. Ketiadaan kerangka etika publik yang menyatukan—di luar segmenter loyalitas—mengekalkan anomi sosial. Dalam konteks demikian, kerasulan Nabi berfungsi sebagai peristiwa korektif yang menormalisasi standar etika dan lintas-suku, menutup celah-celah manipulasi, dan menegakkan martabat manusia.

Strategi transformasi Nabi bersifat bertahap, sistemik, dan berjangkar pada pendidikan akhlak. Tahap pertama adalah rekonstruksi karakter individu dan kolektif. Akhlak—jujur, amanah, empati, tanggung jawab sosial—ditanamkan sebagai prasyarat perubahan struktural. Orientasi ini bukan moralistik semata, melainkan desain sosial: membentuk modal etika agar norma masyarakat mampu ditegakkan tanpa bertentangan dengan kebiasaan masyarakat. Rumah tangga, majelis kecil, dan komunitas menjadi ruang internalisasi, sehingga perubahan tak berhenti pada retorika, melainkan menjadi kebiasaan sosial.

Tahap kedua menyasar pelembagaan nilai melalui kontrak sosial. Piagam Madinah menjadi preseden konstitusional yang mengikat kelompok-kelompok agama dan etnis yang berbeda dalam satu entitas politik. Di sini, prinsip-prinsip persamaan di hadapan hukum, kebebasan beragama, musyawarah, dan keadilan diberi bentuk operasional. Dengan pemindahan sumber legitimasi dari loyalitas suku ke norma konstitusional, Nabi memutus siklus kekerasan antar kelompok dan pergeseran orientasi politik dari dominasi ke kolaborasi. Madinah, demikian, tampil sebagai prototipe masyarakat Madani: plural, berperaturan, dan produktif.

Tahap ketiga adalah reformasi ekonomi. Dengan membangun pasar yang bebas dari monopoli dan manipulasi harga, menegakkan etika muamalah, mengharamkan praktik riba, dan menginstitusikan zakat sebagai instrumen redistribusi, Nabi merefleksikan struktur ekonomi yang sebelumnya bertumpu pada eksklusi dan rente. Reformasi ini menaikkan taraf kepercayaan sosial (social trust), menurunkan insentif korupsi, dan memperluas partisipasi ekonomi. Etika niaga bukan sekadar norma privat, tetapi arsitektur pasar yang melindungi pelaku lemah dan mengikat pelaku kuat pada tanggung jawab publik.

Tahap keempat adalah penegakan hukum yang konsisten. Prinsip persamaan di depan hukum ditegakkan, termasuk dalam perkara topik amanah. Keteladanan kepemimpinan—transparansi, akuntabilitas, dan keberanian mengambil sikap—membentuk kultur anti impunitas. Sinyal tegas terhadap konflik kepentingan dan izin memutus normalisasi dilakukan secara manipulatif. Dalam perspektif hukum sosiologi Durkheim, konsistensi dan sanksi kepemimpinan merupakan dua variabel kunci yang menaikkan biaya moral dan penyimpangan sosial.

Dari empat poros intervensi—karakter, konstitusi sosial, ekonomi berkeadilan, dan hukum—lahirlah masyarakat beradab yang menyeimbangkan spiritualitas, etika publik, dan efektivitas kelembagaan. Transformasi ini bukan kebetulan historis, melainkan hasil desain profetik yang koheren.

Relevansinya bagi Indonesia bersifat langsung. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim dan kemajemukan tinggi, Indonesia memiliki modal sosial untuk mereplikasi prinsip-prinsip profetik dalam bingkai konstitusi nasional. Penerjemahan praktisnya dapat dirumuskan pada tiga lingkup: pejabat publik, institusi, dan keluarga.

Pertama, bagi pejabat publik, Maulid menandai komitmen etik terhadap kejujuran, anti-korupsi, dan pelayanan. Mekanisme mengungkapkan konflik kepentingan, transparansi aset, dan budaya akuntabilitas kinerja harus dipandang sebagai ibadah sosial. Model kepemimpinan Nabi—integritas sebagai otoritas—menjadi standar: kewibawaan lahir bukan dari kekuasaan, melainkan dari keteladanan.

Kedua, pada aras institusi, pembenahan tata kelola perlu meniru logika Piagam Madinah: inklusif, deliberatif, dan berbasis aturan. Penegakan hukum yang non-diskriminatif, partisipasi warga dalam pengambilan keputusan, dan jaminan kebebasan berkeyakinan memperkuat kohesi sosial. Dalam praktiknya, hal ini berarti memperluas kanal musyawarah publik, memperkuat lembaga pengawas, dan memastikan hukum bekerja tanpa memandang bulu.

Ketiga, pada lingkup keluarga, karakter pendidikan harus diposisikan sebagai kurikulum hidup: membiasakan kejujuran, adab diskusi, disiplin, dan empati. Keluarga menjadi produsen nilai; sekolah pemaksaan; ruang publik mengamplifikasi. Dengan nilai ekologi yang serasi, perilaku etis tidak lagi kontrak sosial semata, tetapi kebutuhan identitas.

Selain tiga perlindungan, keumatan ekonomi harus dimajukan melalui tata kelola pasar yang adil. Perlindungan UMKM, akses pembiayaan syariah yang inklusif, serta penguatan filantropi sosial (zakat, infak, wakaf) akan memperkecil ketimpangan dan menekan insentif perilaku predatoris. Pasar sebenarnya bukanlah hambatan pertumbuhan, melainkan fondasi pertumbuhan yang berkelanjutan.

Maulid, dengan demikian, bukan perayaan retrospektif, tetapi ajakan prospektif. Ia memusatkan perhatiannya pada pemuliaan masa lalu perbaikan metodologi penerapan: memulai dari diri sendiri, menyehatkan keluarga, menata institusi, dan mempublikasikan pasar. Jika Makkah dan Madinah menjadi kota-kota yang beradab karena keberanian menata nilai, hukum, dan ekonomi secara serentak, maka Indonesia pun dapat mengakselerasi peradaban dengan resep yang sama—diterjemahkan dalam konteks konstitusi, Pancasila, dan kemajemukan Nusantara.

Pada akhirnya, narasi deskriptif ini menegaskan: kelahiran Nabi adalah episentrum perubahan yang menyeimbangkan wahyu dan rasionalitas sosial. Dengan meneladani metodologi profetik—pendidikan akhlak, konstitusionalisme inklusif, ekonomi berkeadilan, dan penegakan hukum berintegritas—Indonesia dapat bergerak dari wacana menuju praksis, dari harapan menuju institusi, dari ritus menuju peradaban. Maulid 2025 menjadi momentum memperbarui kontrak moral kita: menjadikan akhlak sebagai infrastruktur kemajuan, dan kemajuan sebagai ekspresi akhlak.

Abdur Rauf Labib Ramdhany, M.Si, Dosen AIK Universitas Muhammadiyah Jakarta

Sumber : Suara Muhammadiyah



Posting Komentar

0 Komentar